Festival Religi Budaya Paroki Santa Familia Wae Nakeng 2025 Menjadi Simfoni Tradisi dan Sinodalitas

Dalam semarak yang sarat makna, Paroki Santa Familia Wae Nakeng kembali menggelar Festival Religi Budaya dan Religi 2025, sebuah momentum tahunan yang bukan hanya menjadi perayaan iman, tetapi juga panggung agung bagi persaudaraan lintas iman dan budaya. Dengan mengusung tema “Merajut Persaudaraan dalam Semangat Sinodalitas”, festival ini tidak hanya menyatukanumat dalam doa dan budaya, tetapi juga menghadirkan wajah Gereja yang terbuka, merangkul, dan berdialog.

Diselenggarakan selama tiga hari penuh, festival ini menampilkan beragam kegiatan bernuansa religi dan budaya—dari misa inkulturatif, pameran seni, hingga panggung budaya yang diisi dengan tarian tradisional, musik rohani, dan orasi kebangsaan. Namun lebih dari sekadar acara seremonial, festival ini menjadi simbol dari sebuah tradisi yang hidup: tradisi sinodal, yang melibatkan seluruh umat—lintas usia, lintas agama, lintas komunitas.

Dalam sambutannya, Mgr. Maksimus Regus, Uskup Keuskupan Labuan Bajo, menegaskan bahwa festival ini menjadi “sebuah ruang peziarahan bersama menuju Gereja yang lebih sinodal: yang berjalan bersama, mendengarkan bersama, dan membangun masa depan bersama.” Beliau menambahkan, “Festival Budaya dan Religi ini menjadi tanda bahwa tradisi tidak boleh menjadi tembok yang memisahkan, melainkan jembatan yang menyatukan. Dari sini, kita belajar bahwa iman dan budaya adalah milik bersama, yang hanya tumbuh dalam semangat persaudaraan.”

Wajah sinodalitas itu nyata terasa. Tidak hanya umat Katolik yang hadir, tetapi juga umat Muslim dan jemaat GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) yang turut ambil bagian dalam festival ini. Stan-stan UMKM menampilkan hasil kerajinan tangan, kuliner lokal, dan produk komunitas yang dikelola bersama. Dalam sesi pertunjukan budaya, kelompok anak muda Muslim dan Kristen tampil dengan pertunjukan musik etnik dan puisi religi, menyampaikan pesan damai dalam keberagaman.

Romo Carles Suwendi, Pr., Pastor Paroki Santa Familia Wae Nakeng, menekankan bahwa inklusivitas ini telah dirancang sejak awal oleh panitia sebagai komitmen untuk membangun komunitas iman yang dialogis. “Konsep ini kami bangun atas dasar kerinduan akan rumah iman yang terbuka dan bersaudara. Kita ingin agar setiap umat, apa pun latar belakangnya, merasa memiliki tempat di tengah perayaan ini. Karena di Lembor, keberagaman bukan tantangan, tetapi kekuatan.”

Atmosfer kekeluargaan begitu terasa di seluruh rangkaian acara. Dari ritual adat pembukaan, misa utama yang melibatkan koor gabungan lintas komunitas, hingga malam pentas budaya yang dihadiri ratusan warga, semuanya berpadu dalam satu nada: persaudaraan.

Festival ini telah menjelma menjadi tradisi yang menghidupkan semangat communio, participatio, dan missio—tiga pilar sinodalitas yang menjadi dasar pembaruan Gereja. Bukan hanya bagi Paroki Santa Familia, tetapi juga sebagai model kolaborasi iman dan budaya di tengah masyarakat majemuk Flores Barat. (Fr. Sasly Jemparut)