Bacaan I: Yes. 50: 4-7
Bacaan II: Fil. 2:6-1
Injil: Luk. 22:14-23:56
Hari ini kita merayakan Minggu Palma, Kenangan akan Sengsara Tuhan. Bagian yang dibacakan selama prosesi menceritakan masuknya Yesus ke Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai. Dengan memilih seekor keledai, Yesus mengungkapkan misi-Nya sebagai Pangeran Perdamaian, yang berbeda dari kedudukan sebagai raja di bumi.
Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk merenungkan jati diri Yesus sebagai Hamba yang Menderita, Raja yang Rendah Hati, dan Anak Allah yang taat.
Bacaan pertama menyajikan visi kenabian tentang seorang hamba yang mengalami penolakan, pemukulan, dan penghinaan namun tetap teguh dalam misinya. Hamba dalam nubuat itu melambangkan Kristus yang menderita. Dia menanggung ejekan, pencambukan, penyaliban, namun tetap teguh karena kepercayaan-Nya kepada Tuhan. Ini menantang kita untuk percaya kepada Tuhan di tengah penderitaan dan bertekun dengan iman bahkan ketika dihadapkan pada ketidakadilan atau penganiayaan.
Bacaan kedua berbicara tentang Kristus sebagai Raja yang rendah hati. Rasul Paulus menampilkan Yesus sebagai contoh utama dari pengosongan diri (kenosis). Bagian ini menyoroti paradoks kedudukan Kristus sebagai raja: keagungan sejati ditemukan dalam kerendahan hati dan ketaatan. Bagi kita, perikop ini adalah sebuah panggilan untuk meneladani kerendahan hati Kristus. Di dunia yang sering menghargai kekuasaan dan kesombongan, kita diingatkan bahwa kemuridan yang sejati melibatkan kasih yang rela berkorban, mengutamakan orang lain, dan menerima kehendak Tuhan, bahkan ketika hal itu berujung pada penderitaan.
Kisah Sengsara dari Injil Lukas membawa kita ke dalam inti penderitaan Kristus. Kisah ini menekankan kepolosan Yesus, belas kasihan-Nya bahkan di tengah pengkhianatan dan penderitaan, dan kepercayaan-Nya yang tak tergoyahkan kepada Bapa. Minggu Palma menghadirkan sebuah paradoks: kemenangan dan tragedi, pujian dan penolakan, kemuliaan dan penderitaan. Apakah kita mengikuti Kristus hanya ketika hal itu mudah dan menguntungkan, atau apakah kita bersedia untuk tetap setia bahkan dalam pencobaan?
Minggu Palma mencerminkan tiga keinginan mendasar yang kita semua miliki—penerimaan, penghargaan, dan rasa memiliki. Kita semua ingin diterima apa adanya, ingin dihargai atas kualitas dan karya kita, serta ingin terhubung dengan orang lain dalam identitas bersama. Namun, Yesus, Anak Allah, tidak memiliki satu pun dari hal-hal tersebut. Dia ditinggalkan, dicap sebagai penjahat, dan ditolak oleh orang-orang yang pernah memuji-Nya. Berdasarkan standar duniawi, Dia gagal. Dia mempunyai pilihan untuk mundur, dari penderitaan yang menanti-Nya di Yerusalem. Namun Yesus memilih jalan salib, sebuah tindakan cinta yang paling utama.
Penderitaan bukanlah akhir dari cerita kehidupan. Ketaatan Yesus menuntun pada pemuliaan-Nya, menunjukkan bahwa penderitaan yang ditanggung dengan iman menuntun pada kebangkitan dan kehidupan baru. Pertanyaan bagi kita adalah: Apakah kita bersedia memikul salib kita bersama-Nya? Apakah kita mengakui Dia sebagai Raja sejati kita, bukan berdasarkan standar duniawi, namun sebagai Pribadi yang memerintah dengan kasih dan belas kasihan? Semoga minggu ini menjadi waktu untuk refleksi, pertobatan, dan pembaruan yang lebih dalam, mempersiapkan hati kita untuk ikut ambil bagian dalam kemenangan kebangkitan-Nya. Semoga Tuhan memberkati kita semua. (RD. Kristo D. Selamat)