Jumat Pekan Prapaskah I

Bacaan I: Yeh. 18:21-28
Antarbacaan: Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8′
Injil: Mat. 5:20-26

Bacaan Injil

Dalam kotbah di bukit, Tuhan Yesus bersabda, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau,
tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.
Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”

Renungan

Penginjil Matius menggambarkan Yesus yang memberikan tafsiran terhadap Tukum Taurat dengan penuh kewibawaan. Yesus hadir untuk memperluas dan memperdalam pemahaman terhadap Hukum Taurat. Semua penjelasan yang diberikan Yesus membantu para murid dan kita semua untuk memahami maksud Yesus ketika Ia menegaskan bahwa Hukum Taurat tidak ditiadakan, tetapi digenapi oleh-Nya. Ahli Taurat dan orang Farisi rajin mempelajari Hukum Taurat, tetapi entah kenapa tidak melakukannya atau melakukannya dengan sikap dan cara yang salah. Interpretasi mereka yang lahiriah atau legalistis tentang Hukum Taurat tidak sesuai dengan maksud Allah yang sesungguhnya, maka tidak membawa orang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Allah baru merajai dalam hidup orang, bila mereka memenuhi kehendak Allah yang ada dalam Taurat Musa dengan cara yang dijelaskan oleh Yesus. Itulah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Ia membandingkan cara hidup para murid-Nya dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus menghendaki agar mereka tidak hanya melakukan perintah Hukum Taurat supaya dilihat orang, tetapi mesti karena sebuah kesadaran iman. Kesadaran iman itulah yang membuat mereka dijauhkan dari kemunafikan dan formalitas.

Selain itu, dalam injil hari ini Yesus mengangkat contoh larangan Taurat Musa “Jangan membunuh” serta hukumannya, dipertentangkan dengan peringatan-Nya bahwa memarahi ataupun mencaci maki saudaranya juga layak dihukum sama atau lebih berat. Larangan membunuh di dalam konteks ini adalah aksi pembunuhan liar sebagai balas dendam pribadi. Pembunuhan yang main hakim sendiri harus dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan lokal. Namun, dalam injil hari ini Yesus memberikan pengajaran melampaui perintah ini yakni orang yang menyimpan rasa marah pun harus diserahkan kepada pengadilan. Kemarahan sama buruk karena dari situlah muncul pembunuhan. Mencaci maki berarti memaki saudaranya sebagai orang yang ‘berkepala kosong’. Orang yang mencaci maki saudaranya secara demikian, malah perlu dihadapkan ke Mahkama Agama, pengadilan lebih tinggi di Yerusalem.

Pengajaran Yesus sebagaimana ditampilkan dalam bacaan injil hari ini rupanya masih sangat relevan dengan kehidupan kita hingga saat ini. Kerap kali praktik agama kita tidak jauh berbeda dengan orang Farisi dan ahli Taurat yang lebih mengutamakan tampilan. Tidak heran kalau rumah Tuhan menjadi ajang pertunjukkan pakaian baru atau kekayaan. Rumah Tuhan menjadi pasar yang mempertontonkan kemunafikan. Padahal sejatinya, rumah Tuhan harus menjadi tempat pertemuan intim antara kita dengan Tuhan. Rumah Tuhan menjadi tempat melepaskan dahaga kerinduan akan kasih Allah. Allah yang selalu menerima umat-Nya yang datang dengan segala kehausannya. Oleh karena itu, pada masa prapaskah ini, marilah kita bertobat dan menata kembali hidup agama kita. Kita beragama bukan untuk dilihat atau dinilai baik oleh orang laun, tetapi supaya dilihat oleh Bapa di Surga. (Rm. Ignasius Rudi Haryanto)