Jumat Pekan V Paskah

Bacaan Injil Yoh. 15:12-17

Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.
Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.
Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.
Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Renungan

Mungkin kita pernah bertanya: Apakah Allah mengasihi kita? Jawaban yang paling utama ialah Allah adalah kasih. Karena Ia adalah kasih, maka segala sesuatu yang dilakukan-Nya bersumber pada kasih dan dengan kasih. Karena Allah adalah kasih, maka di dalam Allah tidak ada kebencian. Dalam injil hari ini, Yesus berbicara tentang hukum kasih. Ia tidak memberikan daftar perihal kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan, tetapi hanya menunjukkan hal paling pokok, yakni saling mengasihi. Itulah maksud Yesus dalam 13:34 ketika Ia berkata, perintah baru yang mencakup semua perintah lain. Modelnya adalah kasih Yesus bagi murid-murid-Nya. Kasih yang paling besar adalah penyerahan nyawa bagi seorang sahabat. Mati demi sahabat merupakan nilai tertinggi di dunia Yunani-Romawi. Yesus melakukannya bagi murid-murid, dan dengan demikikan menyatakan mereka sebagai sahabat-sahabat-Nya. Murid-murid hendaknya mewujudkan perintah saling mengasihi dengan cara demikian juga, seperti dilukiskan dalam 1 Yoh 3:16, “jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Menuruti perintah dan model Yesus itu bukan syarat untuk menjadi sahabat Yesus, tetapi implikasinya. Yesus mengasihi murid-murid terlebih dahulu, memilih mereka, menyebut mereka sahabat dan menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka untuk menjadikan mereka sahabat-sahabat-Nya. Saling mengasihi memperlihatkan bahwa mereka sahabat-Nya.

Yesus menempatkan murid-murid dalam relasi baru dengan diri-Nya. Ia tidak lagi menyebut mereka hamba. Meskipun dua kali dipakai kiasan ‘hamba’, “hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya” (13:13; 15:20), namun dalam Injil Yohanes murid-murid tak pernah disebut hamba yang tunduk pada perintah Yesus, tetapi selalu sebagai murid yang mengikuti Yesus dan berguru pada-Nya. Sebagai sahabat-Nya mereka sudah dimerdekakan oleh Yesus dan benar-benar merdeka. Persahabatan itu ditunjukkan Yesus dengan memberitahukan segala sesuatu kepada mereka. Relasi persahabatan dengan Yesus bukan seperti dalam persahabatan antarmanusia yang terjadi karena saling memilih. Persahabatan dengan Yesus berawal dari Dia dan merupakan anugerah karena Dialah yang memilih dan menetapkan mereka untuk pergi. Anugerah perutusan itu tentu perlu ditanggapi. Isi perutusan di sini bukanlah tugas memberitakan dengan kata-kata atau tanda-tanda, melainkan menghasilkan buah dalam kehidupan Kristiani dengan saling mengasihi.

Yesus memilih dan mengutus para murid untuk menghasilkan buah yang tetap. Hal itu hanya mungkin bila mereka menoleh kapada Bapa, dalam nama Yesus memohonkannya kepada Bapa yang pasti memberikan apa yang mereka mohon dalam kesatuan dengan Yesus. “Supaya apa yang kamu minta kepada Bapa … diberikan-Nya” (ay.16) janganlah salah ditafsirkan seolah-olah murid menghasilkan buah dengan perhitungan agar setiap permohonan mereka dikabulkan. Buah yang tetap yakni senantiasa saling mengasihi, bukanlah syarat tetapi tanda bahwa permintaan mereka dalam nama Yesus dikabulkan Bapa.

Dalam kehidupan sehari-hari, amat sering kita mengaburkan pengertian tentang kasih Allah itu. Pengalaman kita dalam hal kasih manusia mengaburkan pengertian kita tentang kasih Allah itu, terlebih pandangan dewasa ini yang menekankan prestasi dan imbalan. Bahwa setiap prestasi mesti disertai dengan sebuah imbalan. Dalam banyak keluarga, anak-anak seringkali mengalami hal ini, supaya dicintai orangtuanya, maka ia harus berprestasi, entah dalam sekolah atau bidang lainnya. Tanpa disadari, kita juga mengenakan sikap itu dalam hubungan dengan Allah. Untuk dapat dikasihi Allah, orang harus berprestasi lebih dahulu. Dengan demikian orang akan mati-matian melakukan kebajikan-kebajikan tertentu supaya berkenan kepada Allah. Dan apabila ia sudah melaksanakannya, seolah-olah ia dapat menuntut balas jasa dari Allah karena sudah berjasa.

Akan tetapi, sebagai murid-murid Kristus hendaknya kita sadari, bahwa kita telah lebih dahulu dikasihi Allah tanpa ada jasa-jasa dari pihak kita. Kalau kita sadar bahwa kita berharga bagi Allah dan dikasihi Allah, kita pun tidak akan mencari penghargaan dan penghormatan dari manusia. Kita tidak akan berusaha mengejar prestasi supaya mendapat penghargaan orang, tetapi kita akan melakukan segala sesuatu yang berkenan kepada Allah, semata-mata untuk Allah, tanpa takut apa kata orang. Karena kita merasa dikasihi Allah, kita pun dapat membagikan kasih itu kepada orang lain, tanpa menuntut orang lain harus balas mengasihi kita. Kita mengasihi karena kita lebih dahulu dikasihi. (Rm. Ignasius Haryanto)