Minggu Prapaskah V – Minggu Sengsara

Bacaan I: Yesaya 43:16-21
Antarbacaan: Mzm. 126:1-2b, 2c-3, 4-5, 6
Bacaan II: Flp. 3:4-18
Injil: Yoh. 8:1-11

Renungan

Manusia hidup dalam sebuah garis waktu linear. Pembabakannya kita sebut sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan. Sebagai orang beriman, kita tentu mengalami atau sekurang-kurangnya mengharapkan transformasi dalam rentang waktu tersebut. Dalam konteks itu, bacaan-bacaan suci hari ini dapat direfleksikan.

Pada Minggu Sengsara ini, perhatian kita diarahkan kepada masa lalu yang penuh dosa. Rupanya, Allah menaruh minat yang besar pada pemulihan kita. Perjumpaan Yesus dengan perempuan berdosa memberi makna mendalam tentang arti belas kasih Allah. Kasih yang melampaui batas ruang dan waktu. Dosa memang telah menodai masa lalu kita. Namun itu bukan berarti bahwa kita tidak berhak atas masa kini dan masa depan yang cerah. Yesus adalah jaminan pasti dari pernyataan itu.

Pesan bacaan-bacaan hari ini dapat diringkas dalam beberapa poin berikut. Pertama, Nabi Yesaya dalam bacaan pertama berbicara tentang pemulihan jati diri umat pilihan Allah. Saat itu mereka sedang berada dalam tekanan Babilonia. Yesaya meyakinkan mereka bahwa Tuhan tidak hanya hadir, namun juga cukup kuat untuk menghadapi kekuatan Babel. Perikop ini mendorong kita untuk menggunakan pengalaman masa lalu akan kasih karunia Allah sebagai batu loncatan untuk pengharapan di masa depan. Ketika hidup terasa gelap dan tidak menentu, perikop ini mengingatkan kita bahwa bahkan dalam kehancuran kita, Tuhan tetap bekerja. Karakternya tetap tidak berubah—setia, berkuasa, dan hadir.

Kedua, Rasul Paulus membagikan refleksinya tentang pengenalan akan Kristus. Ia memulai dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dahulu ia hargai—warisan, prestasi, dan status keagamaannya—kini dianggap “rugi” dibandingkan dengan hak istimewa untuk mengenal Yesus. Bagi Paulus, mengenal Kristus bukan hanya perkara intelektual. Ini adalah hubungan yang intim dan perjumpaan yang mengubah seluruh hidupnya. Pergeseran dari kemandirian menjadi ketergantungan penuh pada kasih karunia Allah menandai inti dari kemuridan Kristen.

Ketiga, kisah pengadilan perempuan berdosa mengajak kita merenungkan tanggapan Yesus atas dosa dan orang berdosa. Respon-Nya mengalihkan fokus dari pihak yang dituduh ke pihak yang menuduh. Bagian ini menyoroti belas kasihan Allah, yang tidak berfungsi sebagai alasan untuk berbuat dosa namun sebagai undangan untuk melakukan transformasi. Yesus, satu-satunya yang tidak berdosa dan benar-benar memenuhi syarat untuk menghukum, malah memilih untuk mengampuni.

Inilah inti Kekristenan: keadilan dan belas kasihan bertemu dalam Yesus Kristus. Dia tidak mengabaikan dosa, namun menyediakan jalan penebusan. Pengampunan-Nya bukan berarti bahwa dosa itu tidak penting—sebaliknya, Dia bisa mengampuni karena Dia sendiri yang menanggung hukumannya. Kehadiran Tuhan membawa harapan dan kehidupan, bahkan di saat-saat tergelap kita. Masing-masing dari kita memiliki kelemahan dan dosa masing-masing. Yesus berkata kepada kita, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.” Waktu untuk berubah bukanlah besok, bukan nanti—melainkan sekarang. Semoga Tuhan memberkati kita semua. (RD. Kristo D. Selamat)