Senin, Pekan Biasa VIII

Bacaan I Sir. 17:24-29;
Antarbacaan Mzm. 32:1-2,5,6,7
Injil Mrk. 10:17-27

Bacaan Injil

Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Jawab Yesus: “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.
Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!”
Lalu kata orang itu kepada-Nya: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.”
Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”
Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus menyambung lagi: “Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Mereka makin gempar dan berkata seorang kepada yang lain: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?”
Yesus memandang mereka dan berkata: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.”

Renungan

Injil hari ini bercerita tentang perjumpaan orang kaya yang baik dengan Yesus. Apa yang disampaikan orang kaya tersebut mungkin juga merupakan kegelisahan kita semua. Terlebih pada masa sekarang, ketika orang cenderung beragama sebatas identitas, bukan cara hidup. Orang menjadi kaku dengan aturan-aturan liturgis dan devotif, tetapi lupa pada berbagi kepada sesama sebagai wujud belas kasih. Orang kaya itu bertanya kepada Yesus cara mencapai hidup yang kekal, bagaimana mencapai keselamatan, suatu pertanyaan yang paling mendasar.

Sulit bagi kita untuk meninggalkan apa yang kita miliki demi hal yang sifatnya tidak terlihat. Untuk mewujudkan ini kita perlu mengubah cara pikir kita tentang kebahagiaan. Jika kita berpikir kebahagiaan itu terwujud dalam persatuan dengan Allah, maka kita telah berada pada jalan hidup yang benar. Sebaliknya, jika kita berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah memiliki segalanya maka kebahagiaan itu semu. Hidup di dunia hanyalah sementara, sedangkan hidup bersama Bapa adalah kekal dan abadi.

Yesus merasa kasihan kepada orang kaya tersebut, karena ia tak mampu mencapai titik terindah dalam hidupnya sebagai citra Allah. Menepati hukum bukanlah suatu yang jelek. Namun bagi Yesus memiliki hati yang peduli dan mau berbagi merupakan suatu yang penting untuk mencapai hidup yang kekal. Seseorang boleh dan perlu menaati aturan, namun ia perlu sampai pada titik pemberian diri sepenuhnya. Itulah puncak cinta kristiani.

Orang kaya dalam cerita injil boleh saja menepati semua aturan agama, namun ia lupa bahwa yang tidak kalah penting adalah berbagi kasih dengan sesama, khususnya mereka yang miskin dan menderita. Semoga berkat bantuan Tuhan, hati kita terbuka dan mampu berbagi kasih dengan sesama sebagai wujud iman kita kepada Tuhan. (RD Ricky Pangkur)